Ada sebuah rindu yang ingin berpulang kepadamu, saat aku melihat senyuman indahmu kala menikmati indahnya malam dengan konstelasinya. Saat kau disini tanpa terpisahkan jarak , disaat yang sama ketika kita menikmati alunan tembang biduan malam. Kini hanya ada rindu yang tertinggal , rindu yang selalu mengoyak hati ketika ingin berpulang kepadamu. Kota ini pun jua yang selalu mencoba menarik rindu disisa - sisa rasa yang telah tertidur.
Kota kecil ini tak begitu istimewa, tak ada kemewahan terasa disana dan sini. Penuh dengan kesan sangat sederhana dan penuh rasa nyaman. Disana kau pun bisa menikmati hal sederhana dengan begitu nikmatnya , begitu menenangkan. Begitu yang aku rasa , tak ada kebisingan hanya ada ketenangan disetiap sudut kota kecil ini. Disetiap sudutnya bisa terlihat tawa dari mereka yang ada , tak terlihat kepenatan di raut muka mereka yang menjajahkan dagangannya. Para orang tua yang bekerja diladang pun juga sama , kehangatan yang ditawarkan selalu saja membuatku ingin kembali disana. Tempat dimana aku dilahirkan dan dibesarkan, dirumah sederhana penuh makna. Walau sederhana , hal itu membuatku menjadi seorang pemuda yang selalu bersyukur atas apa yang aku dapat. Dirumah itu, mereka selalu mengajariku akan indahnya hidup , memberi kehangatan rumah yuang selalu membuatku ingin pulang. Beberapa kali terlihat kepenatan di raut wajah tua mereka , namun yang bisa aku lakukan hanyalah membantu mereka ketika keladang ataupun membantu pekerjaan mereka yang lain. Terkadang mereka menolak untuk aku bantu , mereka hanya menyuruhku untuk rajin belajar supaya bisa merubah kehidupanku kedepannya. Tidak mengalami kehidupan seperti mereka. Mereka berharap kepadaku agar bisa menjadi orang yang berilmu dan berguna bagi sesama. Hal itu yang terus di tanamkan kepadaku , mulai dari aku kecil hingga aku menginjak usia dewasa ini.
Hari demi hari , bulan demi bulan , tahun demi tahun aku lewati disana bersama mereka. Tak ada terpikir untuk pergi untuk mengadu nasib ketempat lain. Apalagi kala itu suasana masih terasa sangat kacau menurutku , apalagi untuk merantau. Tak ada sama sekali terbesit di pikiranku untuk merantau. Walaupun terpikir aku tak tau mau kemana, sanak saudara tak ada di tempat lain. Ketika aku mulai berusia 20 tahun , pikiran itu mulai muncul di kepalaku. Ditambah lagi ada temanku yang berhasil di tempat rantau dan mengajakku bekerja disana. Dia menjadi saudagar disana , menjual pakaian serta kebutuhan lainnya. Pada awalnya aku tak terlalu memikirkan hal tersebut, namun lama kelamaan keinginan itu telah mengakar kokoh dipikiranku. aku mencoba memberanikan diri untuk mengutarakan hal tersebut kepada orang tuaku. Pada awalnya mereka ragu dan tak mengizinkanku untuk pergi. Aku mencoba meyakinkan mereka dan akhirnya dengan berat hati mereka mengizinkanku. Walau terasa berat , aku mencoba mencoba menguatkan tekadku tersebut. Tepat sebelum pergantian tahun ,aku bersama temanku pergi kesana. Ketempat yang belum pernah aku jajaki. Tempat asing yang teras seperti hutan belantara, siapa yang tau aku akan bisa bertahan disana.
Aku berangkat kesana bersama temanku menggunakan kapal laut. Bila menggunakan kendaraan darat bisa sampai berbulan - bulan untuk sampai kesana. Di pelabuhan kecil itu, ibu dan bapakku menagntar kepergianku dengan deraian air mata. Mereka berpesan kepadaku agar tidak merepotkan temanku saat disana. Selalu menjadi orang yang berguna dan selalu mengabari mereka. Bekal yang aku bawa hanya sedikit, maklum saja kehidupan keluargaku jauh dari kesah berada. nasehat mereka selalu aku ingat. Tepat tengah hari kapal pun berangkat meninggalkan dermaga, rauh pantai pun secara perlahan mulai menghilang digantikan dengan birunya lautan sepanjang mata memandang. Perjalanan ini pun dimulai, menuju tempat asing yang aku tak tau seperti apa. Hampir 3 minggu aku di atas kapal, rasanya sudah bosan pula terombangambing ditengah luasnya samudra. Aku merindukan tanah untuk berpijak, tak ada lagi bau laut. Merindukan bau tanah ketika pagi, merindukan bau rumput setelah hujan.
" sebentar lagi, aku akan menjejaki tanah. sebentar lagi"pikirku.
Tepat setelah 3 minggu, aku sampai disana. ditempat yang sangat asing bagiku. disana banyak sekali orang dari berbagai ras dan suku. Mulai yang berkulit putih sampai yang berkulit hitam ada disana. Singguh bandar yang sangat besar. Ketika sampai aku langsung menuju kerumah temanku tersebut. Rumahnya lumayan besar , halamannya juga luas sungguh rumah yang bagus. Ditambah lagi posisi rumah yang berada dekat dengan pasar , sungguh posisi yang sangat strategis. Disana temanku menjelaskan tentang pekerjaan yang akan aku lakoni. Dia menjelaskan dengan detail tentang apa saja yang aku lakukan , bagaimana cara melayani pelanggan serta memberikan harga juga. Setelah aku mengerti besoknya aku mulai bekerja.
Setahun sudah aku disana , semuanya berjalan dengan lancar. aku sudah sangat terbiasa dengan kondisi kota yang sangat ribet tersebut. Aktivitas disana tak ada hentinya, siang dan malam tak ada bedanya. Aktivitas tak ada hentinya selalu ada kegiatan disana. Perbedaan kota tersebut sangat berbanding terbalik dengan suasana kotaku. Kebisingan disana - sini , teriakan tuan tanah yang meminta tagihan, kegilaan Mereka yang menghisap harta penduduk biasa, bertindak semena - mena, serta adanya strata sosial sangat kontras terlihat disana. Awalnya aku sudah tidak tahan berada disana , secara perlahan aku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan disini. kehidupan keras seperti hutan rimba . Siapa yang kuat dia yang akan berkuasa. Uang menjadi segalanya ,perusahaan dagang besar memonopoli harga, dan para rakyat jelata menjadi tumbalnya. Sungguh membuatku gila, membuatku merasa disini memang hutan rimba. Kegiatan dipasar juga hampir sama seperti pasar pada umumnya. Ada yang berjualan pakaian, bahan masakan, perhiasan, peralatan dapur sampai candu pun ada di perdagangkan. Setiap pedagang dikenakan pajak berjualan. Pajak tersebut dibayar kepada pemerintah kala itu. Mungkin harga yang dibayarkan tidak terlalu besar , namun keuntungan yang didapatpun juga tidak menenetu, Kadang untung kadang ya buntung, hanya habis untuk membayar pajak saja. Begitulah kehidupan disana, bandar besar yang keras. Orang kaya semakin kaya, yang miskin menjadi miskin. Diskriminasi juga sangat terasa disana. aku terkadang berpikir tentang peranan pemerintah disana. Bukannya mereka tak ingin bertindak, namun mereka seakan dikendalikan oleh para lintah darat dari negara sana. Mereka selalu menyokong dana untuk pemerintah sehingga pemerintah tak bisa bergerak. Korupsi dan suap menyuap sudah menjadi hal yang lumrah. Begitulah disana, hanya ada kesedihan diraut mereka yang bekerja demi memenuhi kebutuhan perut mereka.
Kondisi tersebut memang sangat tak mengenakan, ada beberapa hal yang membuatku mencoba bertahan disana. Selain kisah sedih ada beberapa pemandangan yang berbeda ditawarkan disana. Banyak gedung - gedung yang kokoh mengakar kebumi, dengan ornamen yang sangat indah. Pakaian yang mereka kenakan juga sangat berbeda, tidak seperti pakaian pada umumnya. Waktu sangat berharga, serta ilmu pengetahuan lebih mudah untuk diakses. Banyak buku yang dapat di baca di perpustakaan disana. Walaupun aku tidak terlalu bisa membaca, namun temanku mengajarkanku membaca dan menulis. Ketika aku telah bisa membaca, aku terkadang menyempatkan untuk membaca di perpustakaan yang ada disana. Mencoba mencuri waktu dikala tidak bekerja demi memuaskan rasa ingin tahuku akan dunia. Ada yang membuatku selalu menarik datang kesana, ketika aku bertemu dengannya, dia yang membuat hatiku bergetar dengan kencangnya. Dia memang bukan penduduk asli pribumi, dia adalah orang asing yang datang kesini. Wajahnya yang cantik seperti rembulan ketika purnama, senyumnya seindah intan dengan ditemani bibir merah bak mawar merekah menambah kecantikannya. Oh tuhan, sungguh indah ciptaanmu itu.
Setiap akhir pekan aku memang selalu membaca disana, aku selalu melihat dia membaca disana. Membaca dengan anggunnya, terlihat bahwa dia wanita yang cerdas. Aku selalu berusaha mencuri pandang untuk melihatnya, mencuri kesempatan di sudut matinya. menikmati kecantikannya yang membuat jatungku bergetar dengan kencangnya. Namun apalah daya hanya bisa memandanginya , hanay menjadi pemuja rahasia, Maklum saja aku sadar diri, dia berasal dari kelas atas sedangkan aku hanya orang biasa yang mengadu nasib demi kehiudpan yang lebih baik. selalu saja setiap akhri pekan dia pasti disana, membaca buku yang ada disana. Tak ada rasanay seperti sangat hampa, mungkin itulah cinta yang bersarang didalam hati ini.
Pada awalnya mungkin aku memang tak bisa berkenalan dengannya. Namun suatu ketika aku bisa berkenalan denganya. Siang itu memang hari terasa sangat panas , lebih panas dari biasanya. Kala itu aku duduk seperti biasa menunggu barang daganganku. Tak kusangka dari kejauhan aku melihat sosok seperti dirinya berjalan dengan teman atau pembantunya aku tak tahu. semakin lama semakin jelas bahwa itu memang dia. Detak jantung ini semakin memompa dengan kerasnya , keringat dingin bercucuran membasahi bajuku.
"selamat siang nona, nona mau beli apa?'' tanyaku seperti biasa.
" Saya mau beli pakaian ini, kalo boleh tau berapa harganya?''.
"10 gulden saja nona''.
" kalau Sutra berapa harganya?''.
" kalau agak sedikit mahal nona, soalnya ini asli dari negeri Cina. Sekitar 20 gulden saja."
"Tidak bisa kurang kah harganya?".
" Tidak bisa nona, memang harganya segitu. Tidak bisa kurang lagi ''.
" kalo begitu saya ambil sutranya, ini uangnya'' .
"Terima kasih nona, silakan datang lagi kapan-kapan''. ucapku sembari mengambil uangnya.
Dia pun pergi dengan senyuman manis yang menghiasi wajah cantiknya. amboi, tak bisa aku lukiskan kebahagianku saat itu. Saat aku secara tidak sengaja menyentuh tangan halus bak sutra, dengan kulis seputih salju. Rasanya aku tidak percaya dengan momen tersebut. Ini merupakan hari yang paling bahagia. Sejak saat itu aku mulai memberanikan untuk mengajaknya berbicara ketika bertemu, baik diperpustakaan maupun dilain kesempatan. Terkadang dia juga sesekali datang ke tempatku untuk membeli barang , namun aku tak bisa untuk menanyakan namanya. Lidaku terasa kelu, menatap matanya pun membuatku mematung. Memang rasa ini tak dapat di bohongi. Ketika akhir pekan seperti biasa aku keperpustakaan untuk membaca. Entah kenapa kala itu sangat ramai dipenuhi orang. Aku sampai kesulitan untuk menemukan tempat duduk. Aku berkeliling melihat sekitar, dan yang kosong hanya disampingnya. Mau tidak mau aku menghampirnya.
" bolehkah saya duduk disini Nona?''.
" Tentu saja, silahkan. ''.
'' Terima kasih nona.'' ucapku.
Tidak terasa sudah berjam- jam aku membaca didekatnya. Waktu seakan berjelan dengan pelannya, membuatku menjadi tak tenang. Detak jantung yang memacu dengan kencang, keringat yang bercucuran membuatku tak nyaman. Ketika bel tanda perpustakaan tutup berbunyi. aku pun bersiap untuk pulang. buku aku letakkan diatas meja saja. Di depan pintu perpustakaan aku melihatnya sendirian. aku memberanikan diri untuk menyapanya.
" Lagi menunggu siapa nona?''.
'' lagi menunggu orang yang akan menjemputku, keliatannya dia tidak datang. Biasanya dia selalu menjemputku jam segini.''
" kalo boleh tau rumah nona dimana? mana tau kita satu arah pulang''.
" Rumahku ditengah balai kota dekat dengan pasar''ucapnya.
" Berarti kita satu arah pulang, rumahku juga dekat sana. Apakah nona mau pulang bersama saya? soalnya hari juga sudah mulai gelap. tidak baik gadis pulang sendirian." kataku
Dia hanya mengangguk, lalu kami pun pergi. sepanjang perjalanan terjadi obrolan biasa, dan dari situ aku mengetahui namanya. Maria, namanya sang nona tersebut. Dia berasal dari Negeri nan jauh dibarat. Dia datang kesini karena diajak ayahnya yang mendapatkan pekerjaan disini. Akupun juga mengenalkan diriku. Saat itu merupakan momen langka dan yang teramat indah. Obrolan kami terhenti ketika Dia sampai kerumahnya. Rumah yang sangat besar dan mewah. Di depan pintu pagarnya dia melambaikan tangannya dengan senyuman manis bak bulan purnama. "Ya tuhan mimpi apa aku semalam" pikirku. Kami pun berpisah dan pulang kerumah masing- masing.
Sejak saat itu bila berjumpa, kami selalu menyapa. Ketika di perpustakaanpun terkadang kami juga duduk bersama dan bertukar pikiran. Bercengkrama dan menceritakan tentang kampung halaman kami masing - masing. Terkadang kami juga pulang bersama ketika tak ada yang menjemputnya. Menikmati langit ketika bersama, Menikmati konstelasi langit yang indah. Menikmati setiap detik dikala temaram mulai datang, menikmati setiap alunan bidaun malam. sungguh sangat indah, sangat indah. Lama kelamaan kami pun mulai dekat. Terkadang saling mengirim surat tanpa di ketahui siapapun. Begitulah yang selalu, namun pekerjaanku tidak lupa pekerjaanku aku lakukan dengan tuntas. Aku juga mengumpulkan sedikit dari gajiku untuk iorang tuaku dan juga untuk mengajak dia pergi . 2 hal tersebut menjadi penyemangatku saat ketika bekerja, bertahan ditengah lemahnya tekadku saat itu. Bila memikirkan rindu, aku selalu menahan di untuk keluar. Menunggu akhir pekan untuk bertemu dengannya. Memulangkan rindu yang bersarang di dadaku, mememulangkan beberapa rasa ketika ingin melihatnya disana.
